Jumat

Matematika, Geometri, dan Realitas Fisik

Oleh : Irfan Nurkholis
28 Juli 2017

Dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan gagasan saya mengenai ketiga hal tersebut dalam judul. Ketiganya merupakan istilah yang saya gunakan secara pribadi. Oleh sebab itu saya sebaiknya menjelaskan terlebih dahulu mengenai ketiga hal tersebut untuk memberi batasan mengenai apa maksud dari pembahasan tersebut.

Ketiga hal di atas, menurut saya, merupakan tiga hal yang berbeda namun memiliki hubunngan. Di antara ketiganya, Matematika dan Geometri mungkin sering dikatakan sama atau lebih tepatnya Geometri adalah cabang dari Matematika. Namun demikian, dalam pembahasan ini saya ingin membedakannya, walaupun dalam hal sehari-hari saya tidak melakukannya. Tujuan saya membedakannya tidak lain adalah berkaitan dengan tujuan tulisan ini dibuat, yaitu mengungkapkan gagasan saya atau lebih tepatnya adalah rasa penasaran saya.

Dalam tulisan ini saya mengatakan Matematika sebagaimana yang dikenal selama ini hanya saja tanpa mengikutsertakan Geometri. Dalam kalimat tersebut, terkandung bahwa Matematika adalah sebuah kumpulan teorema dan proposisi yang dihasilkan dari logika manusia. Hal ini juga berarti bahwa saat ini kita tidak mempertimbangkan aspek aplikatif dari matematika pada kehidupan manusia. Dengan kata lain kita hanya mempertimbangkan sebagai matematika sebagai kajian logika.

Geometri, yang sering dikaitkan dengan bangun ruang dan datar, dalam tulisan ini tidak sedemikian sederhana maksudnya, walaupun bangun ruang dan datar termasuk dalam Geometri. Geometri yang saya maksud adalah konsep Matematika yang memiliki aspek visual penerapan yang cukup jelas. Saya katakan cukup karena memang tidak ada batasan yang jelas. Sebagai contoh, adalah perhitungan dalam ruang, sistem persamaan linear, vektor, dan masih banyak lagi. Untuk membedakan dengan Matematika, Geometri lebih memandang aspek visualnya sedangkan Matematika lebih memandang metode proposisinya.

Istilah ketiga adalah Realitas Fisik. Yang saya maksud dengan istilah ini adalah realitas di mana hukum fisika menjadi dasar yang mengatur terjadinya setiap fenomena. Untuk lebih komunikatif, Realitas Fisik menjawab pertanyaan “apa yang sebenarnya terjadi pada alam semesta ini?”. Saya menyebut Fisik untuk mengatakan bahwa ini tidak ada hubungannya dengan sesuatu yang tidak mematuhi hukum Fisika seperti malaikat, iblis, dan lain sebagainya. Realitas Fisik juga memuat realitas yang belum terjelaskan dengan hukum fisika saat ini, namun (mungkin) dapat dijelaskan dengan hukum fisika di masa depan.

Dari ketiga hal yang telah saya uraikan di atas, saya selalu merasa bahwa ketiganya memiliki hubungan yang sangat indah. Ketiganya menunjukkan sesuatu yang sebenarnya juga belum saya pahami dengan gamblang. Namun demikian, hubungan tersebut terasa ketika saya mengatakan bahwa alam semesta ini hanyalah soal matematis. Tak hanya mengatakannya, saya juga merasa tidak ada alasan untuk tidak mengakui bahwa hal itu benar, walaupun saya memang selalu berusaha berpikiran terbuka dan selalu membuka lebar pikiran ini terhadap hal-hal yang sangat tidak wajar sekalipun.

Dengan beberapa sudut pandang yang berlainan, Realitas Fisik dapat dijelaskan dengan hukum fisika dalam bentuk Matematika. Dalam hubungannya tentu saja Geometri berperan. Yang menjadi pokok pertanyaan bukanlah bagaimana hubungan tersebut, namun bagaimana bisa hal tersebut terhubung. Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan berkaitan dengan pertanyaan tersebut. Kita mulai mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Pertama, saya anggap bahwa Matematika adalah hasil dari pikiran manusia, dan Realitas Fisik jelaslah bukan dari pikiran manusia. Hal ini tentu saja dapat dilihat secara mudah. Namun demikian, jika demikian yang terjadi, maka Realitas Fisik berjalan sejalan dengan pikiran manusia, yang mana itu akan terdengar sangat asing. Dari sudut pandang jawaban ini Matematika merupakan landasan Geometri karena Matematika dan Realitas Fisik merupakan sesuatu yang terpisah dan dihubungkan dengan Geometri. Jika saya menyebut Matematika sebagai Realitas Matematis, maka Realitas Matematis terpisah dengan Realitas Fisik.

Kedua, sebagai alternatif, Matematika bukanlah hasil dari pikiran manusia melainkan dari Realitas Fisik itu sendiri. Manusia secara tidak langsung mengamati fenomena-fenomena akibat Realitas Fisik dan merumuskannya dalam proposisi-proposisi yang kemudian diolah dengan logika manusia menghasilkan proposisi-proposisi yang lebih banyak dan membentuk Matematika. Dalam sudut pandang ini, jika saya menyebut Matematika adalah Realitas Matematis, maka Realitas Matematis hanyalah bagian dari Realitas Fisik. Yang mana berarti bahwa hanya ada satu realitas yaitu Realitas Fisik. Dengan kata lain, Geometri merupakan awal mula dari Matematika atau Matematika diawali dengan Geometri. Hal yang mencengangkan adalah bahwa tidak sedikit konsep fisika yang ditemukan setelah konsep Matematika.

Ketiga, Matematika merupakan hasil pikiran manusia dan Realitas Fisik adalah hasil pikiran manusia juga. Hal ini cukup masuk akal. Realitas Fisik, dapat dijelaskan, merupakan bagian dari suatu realitas yang mungkin sekali sangat acak yang kemudian dalam kondisi-kondisi tertentu yang sangat terbatas memiliki pola-pola lokal yang kemudian ditangkap manusia sebagai hukum fisika. Hal ini berarti bahwa Realitas Fisik yang kita bahas merupakan realitas yang hanya bisa dimengerti dengan logika saja atau diterjemahkan dalam hukum fisika atau dalam bahasa Matematika.

Dari ketiga alternatif jawaban di atas, jawaban yang paling saya tidak sukai adalah jawaban pertama. Tentu saja ini tidak berarti bahwa jawaban yang pertama adalah jawaban yang salah. Ini hanya masalah suka dan tidak suka. Dari ketiga alternatif di atas, tentu saja hanya ada satu jawaban yang benar atau setidaknya paling mendekati benar. Saya tidak akan memberikan jawaban yang benar karena saya sendiri juga tidak tahu. Tulisan ini sekedar mengungkapkan sebagian rasa penasaran saya mengenai bagaimana manusia memahami alam semesta. Mungkin saja evolusi mengubah otak manusia dari otak yang hanya mengatur pergerakan dan memenuhi rasa lapar menjadi otak yang dapat menyusun strategi dan memahami alam semesta. Jika memang demikian, bagaimana jalannya evolusi tersebut? Itu pasti proses yang mengagumkan (setidaknya untuk saya pribadi).

Sebagai penutup saya ingin menyampaikan beberapa pertanyaan lanjutan. Jika kita tidak dapat memahami bagaimana manusia berpikir, yang mana menurut saya itu berarti kita tidak bisa memahami asal mula manusia karena pikiran adalah poin terpenting dari manusia, lalu bagaimana kita bisa menyadari apa yang kita lakukan sebagai manusia. Dan bukankah melakukan suatu hal tanpa disadari itu adalah pekerjaan orang tidur. Saya katakan demikian bukan untuk menceramahi namun hanya untuk menyampaikan bahwa tulisan ini bukan untuk orang yang sering berkata “kenapa kita harus mikir ini dan itu, harus tahu ini dan itu, kenapa kita tidak hidup biasa sehari-hari sebagaimana lazimnya?”. Bagi saya pikiran ini adalah milik saya pribadi.

Rabu

Derita Jiwa

Oleh : Irfan Nurkholis
7 September 2016

Wahai Pagi
kepada burung yang mengarung bahana,
kepada belalang musim telah menghangat,
kepada palem tak lagi tenggelam
Dengarlah ceritaku
Kisah dan ragu diriku pada hidup
Bahagia dan nestapa
Kenyataan, ilusi dan misteri

Kumulai dari birunya langit
berserat dan bergemul putihnya awan
Hijau bukit bergerigi
dengan bercak kuning dan hitam,
kemarau dan pagi
Geraknya daun ikuti sepoi angin,
menyentuhku, menghilangkan hangatnya tubuh
Tak pelak lagi
itulah bual sang netra

Mulailah aku meragu
Mana yang lebih tinggi?
langit yang biru,
ataukah bintang yang pendar?
Mana yang benar?
Ruang yang terisi,
ataukah beban yang hampa?

Sejenak aku tertegun
Inikah semuanya,
atau sekedar kemampuanku?
Karenanya kumulai menggigau
Ya, aku merinding
Keringat dingin, jantung berdebar
Takut dan putus asa,
cinta, ingin tahu, misterius,
mimpi dan ambisi
Membabi buta,
memukul kepalaku,
mengeluarkan isi kepala,
mengiris hati menekan dada
menendang jantung.

ah... apa lagi yang bisa kulakukan

Senin

Esai Mengenai Nilai Moral dan Tuhan

Oleh : Irfan Nurkholis
1 Agustus 2016

“Tidakkah kau dengar orang gila yang menyalakan pelita di pagi hari yang cerah. Dia berlari-lari menuju alun-alun kota dan tak henti-hentinya berteriak : ‘Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!’. Ketika orang banyak yang tidak percaya pada Tuhan, datang mengerumuinya, orang gila itu mengundang banyak gelak tawa. ‘Apakah dia ini orang yang hilang?’, tanya seorang. Apakah dia baru saja mengadakan pelayaran? Apakah dia seorang perantau? Demikianlah mereka saling bertanya sinis dan tertawa.

Orang gila itu lalu melompat dan menyusup ke tengah-tengah kerumunan dan menatap mereka dengan pandangan yang tajam. ‘Mana Tuhan?’, serunya. ‘Aku hendak berkata pada kalian. Kita semua telah membunuh Tuhan - kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Bagaimana mungkin kita telah melakukan perbuatan semacam ini? Bagaimana mungkin kita meminum habis lautan? Siapakah yang memberikan penghapus kepada kita untuk melenyapkan seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan jikalau kita melepaskan Bumi ini dari Mataharinya? Lalu ke mana Bumi ini akan bergerak? Menjauhi seluruh Matahari? Tidakkah kita jatuh terus menerus? Ke belakang, ke samping, ke depan, ke semua arah? Masih adakah atas dan bawah? Tidakkah kita berkeliaran melewati ketiadaan yang tak terbatas? Tidakkah kita merasa menghirup ruangan yang kosong? Bukankah hari sudah menjadi semakin dingin? Tidakkah malam terus-menerus semakin meliputi kita? Bukankah pada siang hari lentera pun kita nyalakan? Tidakkah kita mendengar kebisingan para penggali liang kubur yang sedang memakamkan Tuhan? Tidakkah kita mencium bau busuk Tuhan? Ya, para Tuhan juga membusuk! Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kita telah membunuhnya!

(Die Fröhliche Wissenschaft, 125. diambil dari Nietzsche oleh St. Sunardi)

Cukilan di atas adalah tulisan filosof postmodernisme, Freidrich Nietzsche. Dalam karyanya tersebut dia mengungkapkap bahwa Tuhan sudah mati dan oleh karenanya tidak ada nilai moral yang harus dipatuhi untuk menjadi orang yang baik. Hal ini membawa saya untuk memikirkan dua pertanyaan berikut ini.

Benarkah Tuhan sudah mati?
Apakah memang tidak ada nilai moral yang harus dipatuhi?

Tulisan ini merupakan gagasan saya mengenai konsep nihilisme zaman modern sebagaimana yang digambarkan dalam kajian-kajian filsafat Nietzsche. Selain itu, nilai moral bagi saya adalah sesuatu yang didapat dari apa yang namanya hidup. Selama manusia hidup maka nilai moral tetap ada, sekurang-kurangnya adalah nilai moral untuk hidup. Sebelumnya saya akan menjelaskan apa yang saya maksudkan dengan nilai moral dan Tuhan itu sendiri. Mengenai ketiadaan Tuhan, saya sepenuhnya tidak bisa meyakini bahwa Tuhan tidak ada.
 
Tuhan dalam gagasan saya adalah sesuatu yang abstrak (karena memang tidak bisa dibuktikan begitupun disanggah) yang menjadi asal mula segala sesuatu. Asal mula bukan berarti pada suatu titik pada waktu tertentu, karena waktu itu sendiri merupakan sesuatu yang juga bagian dari segala sesuatu. Asal mula di sini tidak menjawab pertanyaan kapan melainkan bagaimana. Tuhan dalam pengertian ini berada di luar dari segala sesuatu. Jadi ada dua hal yang berlainan, Tuhan dan segala sesuatu. Tuhanlah yang menciptakan segala sesuatu dalam kehidupan ini.
 
Nilai moral dalam pembicaraan ini adalah sebuah hal semacam aturan atau pedoman yang dipatuhi manusia secara sadar maupun tidak sadar agar manusia dapat dinilai sebagai makhluk yang baik atau buruk. Singkat kata, nilai moral menentukan baik atau buruknya suatu sikap dan perilaku manusia.
 
Dari sudut pandang agama pada umumnya, Tuhan adalah sumber dari segala bentuk kebijaksanaan atau sejenisnya yang bersifat baik. Dan oleh karenanya, Tuhan dijadikan sebagai sumber nilai moral. Biar bagaimanapun, agama pada umumnya berkekuatan pada majelis-majelis tertentu dalam agama tersebut. Nilai moral dalam sudut pandang agama ini biasanya bersifat absolut, pada suatu titik, dasar dari nilai moral ini adalah asumsi yang benar-benar bersifat absolut dan tidak dapat dipertanyakan lagi kebenarannya.
 
Saya tidak dapat menerima segala sesuatu yang tidak memiliki dasar yang jelas. Oleh karena itu saya tidak akan memberikan penilaian terhadap nilai moral yang bersifat absolut. Menurut saya, untuk mendasari nilai moral itu sendiri, manusia harus berpegang teguh pada konsep hidup. Hidup adalah satu-satunya hal yang membuat segala sesuatu memiliki nilai. Lalu apakah memang ada nilai moral yang memang harus dipatuhi?
Berikut adalah ilustrasinya. Adam adalah manusia pertama di Bumi. Ini berarti tidak ada manusia lain selain dia (tentu saja ini tidak benar, karena jika memang begitu maka tidak akan ada manusia setelahnya - ini hanya sebagai pemisalan jika populasi manusia hanya sedikit atau katakanlah hanya ada dua manusia maka nilai moral yang ada pun berbeda). Apakah ada nilai moral yang harus dipatuhi? Apakah dia tidak boleh mencuri? Apakah dia harus bertindak sopan? Apakah dia bersedekah? Tentu saja tidak. Tapi itu tidak berarti bahwa tidak ada nilai moral. Bagaimanapun dia harus hidup, karena itu adalah satu-satunya hal paling mungkin.
 
Bagaimana cara hidup? Itu bergantung pada keadaan alam dunia ini. Tentu saja setiap benda akan jatuh ke bawah. Api dan lava juga bersuhu sangat tinggi dan dapat membakar tubuh manusia seakan-akan langsung mengantarkannya langsung menuju neraka. Manusia juga tidak dapat bernapas di dalam air atau di dalam ruang tertutup karena manusia membutuhkan oksigen. Dari keadaan-keadaan alam inilah muncul nilai moral untuk hidup. Artinya, bertempat tinggal di dataran rendah lebih baik daripada tinggal di puncak gunung berapi karena hal itu hanya akan mengancam hidup manusia itu sendiri. Yang saya maksudkan di sini adalah nilai-nilai moral ini dinilai dari hidup manusia itu sendiri bukan dari hubungan sosial. Walaupun memang jika ditelusuri lebih lanjut nilai yang timbul dari hubungan sosial yang sebenarnya pun didasarkan pada nilai moral yang bersumber pada hidup itu sendiri. Sebagai contoh, Adam yang tinggal sendiri setelah dewasa memiliki sifat untuk mencari pasangan. Maka mencari pasangan memiliki nilai moral yang lebih baik ketimbang tidak mencari pasangan (secara biologis melanjutkan keturunan adalah sifat alami makhluk hidup, dan itu lebih baik. Mengapa lebih baik, bisa kita buktikan dengan kontradiksi yaitu makhluk hidup tidak melakukan usaha untuk melanjutkan keturunan maka tidak ada makhluk hidup lagi setelahnya. Oleh karenanya tidak akan ada lagi yang namanya hidup, yang mana itu adalah dasar dari nilai moral). Oleh karena itu juga, melanjutkan keturunan juga lebih baik daripada memandul. Tentu saja semua makhluk hidup memiliki sifat ini. Dan karenanya juga, menjamin kesejahteraan keturunan memiliki nilai moral yang lebih baik ketimbang menelantarkannya. Anak tentu saja juga akan memiliki keturunan dan karenanya akan ada kelompok manusia di mana pada kelompok tersebut juga akan terdapat hubungan sosial antar individu. Hal inilah yang menjadi titik di mana kita dapat menyimpulkan bahwa nilai-nilai moral yang timbul dalam hubungan sosial dapat ditelusuri dari nilai-nilai moral yang bersumber dari alam itu sendiri.
 
Karena alam yang ditinggali manusia itu sendiri memiliki hukum-hukum atau ketetapan-ketetapan fisika atau matematika itulah yang menyebabkan manusia harus mengikuti suatu nilai moral yang memang sudah ada. Dari nilai moral primitif untuk menjamin kelangsungan hidup hingga nilai moral sosial dalam interaksi antara individu, nilai moral ini pada dasarnya bersumber dari konsep hidup itu sendiri. Hidup yang saya maksud lebih bersifat biologis. Objek-objek biologis hidup juga dengan mematuhi hukum-hukum fisika dan matematika. Hal inilah yang menjadikan bahwa manusia memiliki nilai moral. Tentu saja, nilai moral masyarakat di daerah pegunungan berbeda dengan nilai moral masyarakat di daerah pantai. Itu terjadi karena kondisi fisik lingkungan yang berbeda (dan masih ada faktor lain juga, seperti pendidikan, tetapi itu juga karena lingkungan di mana pendidikan itu dijalani). Hal ini menunjukkan bahwa nilai moral manusia memiliki hubungan erat dengan alam lingkungannya. Menilai baik buruknya seseorang dengan seperangkat aturan ketat yang ditetapkan oleh sebuah lembaga yang secara absolut menguasainya tentu saja tidak pernah masuk dalam daftar saya sebagai hal yang benar. Menilai manusia harus dengan melihat dan mempertimbangkan lingkungan sekitarnya di mana ia hidup.
 
Lalu bagaimana dengan nilai moral yang dikatakan dari Tuhan. Segala sesuatu berasal dari Tuhan. Tentu saja itu tidak diragukan lagi. Tapi bagaimana segala sesuatu itu muncul ke permukaan ini tidak bisa dijawa dengan hanya berkata itu dari Tuhan. Jika itu jawabannya maka tidak ada yang perlu dipelajari dan dipikirkan lagi oleh para filosof. Mengatakan semuanya atas nama Tuhan hanya karena malas berpikir dan belajar itu hampir sama dengan tidak mempercayai Tuhan itu sendiri. Tidak ada yang pernah melihat seperti apa Tuhan itu, dan seberapa tua (atau seberapa muda) Tuhan. Realitas Tuhan menjadi sebuah paradox untuk akal sehat manusia yang sebenarnya tidak begitu sehat. Oleh karena itu setiap hal yang dikatakan berasal dari Tuhan harus kita telusuri lagi bagaimana implikasi atau kaitannya dengan konsep mengenai hidup itu sendiri. Faktanya seluruh nilai moral yang diciptakan manusia seharusnya berjalan dengan fungsi biologis manusia itu sendiri.
 
Mengatakan Tuhan itu sudah mati bisa jadi adalah keputusan yang terburu-buru. Hati manusialah yang sepenuhnya sedang sekarat. Manusia tidak mau menilai baik burukknya suatu tindakan dengan konsep hidup itu sendiri. Manusia lebih memilih menilainya dengan hasrat bersaing dengan sesama manusia itu sendiri. Masyarakat ternyata adalah hantu bagi jiwa yang lemah untuk menjadi manusia yang mengamini Tuhan.
 
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan bahwa sebagai manusia saya merasa bahwa membawa-bawa nama Tuhan untuk tujuan tertentu yang bersifat mencari keuntungan pribadi (sebaiknya Anda paham dengan yang saya maksudkan dengan keuntungan pribadi) tidak bisa dianggap sebagai perilaku yang patut dicontoh. Takut akan berbuat dosa seharusnya bisa dihilangkan dengan mempelajari dan merenungkannya terlebih dahulu. Mengeliminasi manusia dari masyarakat karena tidak berada dalam daftar kompetisi akan menjadi isu yang kian hari kian menghangat.

Selasa

Manusia dan Dogmatisme dalam Kehidupannya


oleh Irfan Nurkholis
11 Juli 2016

Alasan yang membawa saya menulis ini tidak lain adalah ide mengenai sesuatu yang sesungguhnya seringkali membawa manusia menjadi makhluk yang arogan, egois, penuh dengan sifat keperkasaan mengenai dirinya sendiri. Terkadang hal ini juga membuat manusia tidak sadar betapa luasnya dan tak terbatasnya kehidupan yang sesungguhnya.
 
Dalam judul tulisan ini, saya memiliki tiga kata yang harus saya jelaskan, dan memang akan menimbulkan kebingungan jika tidak saya jelaskan. Tiga kata tersebut merupakan kata-kata yang maksudnya benar-benar sesuai dengan apa saya pikirkan. Ketiga kata tersebut adalah ‘manusia’, ‘dogmatisme’, dan ‘kehidupan’. Saya akan jelaskan apa yang saya maksud dengan ketiga kata tersebut.
 
Kata pertama yang saya bahas adalah ‘manusia’. Manusia yang saya maksudkan di sini adalah makhluk yang memiliki kemampuan penalaran entah bagaimana proses penalaran itu menghasilkan kesimpulan-kesimpulan. Saya juga tidak terlalu yakin bagaimana manusia dapat mendapatkan kemampuan yang begitu ajaib ini. Penalaran yang saya maksud di sini adalah segala sesuatu aktivitas pikiran yang dengannya manusia mencapai peradaban-peradapan yang mungkin. Yang tentu saya tahu mengenai penalaran manusia yang paling populer adalah dalam bentuk matematika. Sebagai ringkasnya, saya memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan penalaran yang dengannya manusia menjalani ‘kehidupan’ (yang akan saya bahas sebentar lagi). Manusia di sini lebih cenderung kepada manusia secara kolektif dan bukan individual.
 
Kehidupan yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah apa saja yang dilalui manusia sejak manusia lahir secara individu sampai manusia itu mati, di mana di antara keduanya akan terdapat banyak hal yang lebih banyak menyinggung manusia secara kolektif. Menurut saya, bagaimanapun, seorang anak manusia tentu saja lahir dari kedua orang tuanya dan hadir ke dunia ini sebagai manusia murni dan bukan sebagai anggota masyarakat. Manusia bisa saja keluar dari masyarakat jika memang dia tidak setuju dengan masyarakat itu dan mungkin juga dia sendiri akan menciptakan masyarakat baru karena memang dia tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat. Hal inilah mengapa saya mengatakan manusia ditinjau secara individu. Di lain sisi, manusia ditinjau secaara kolektif, saya maksudkan untuk manusia dalam kebudayaan dan peradabannya yang tentu saja tidak akan pernah bisa dihasilkan oleh satu manusia saja.
 
Kata terakhir, yang saya tidak terlalu yakin apakah ini adalah yang dimaksudkan orang-orang umum ketika mengucapkannya, yang saya bahas adalah ‘dogmatisme’. Dogmatisme di sini saya maksudkan sebagai keadaan di mana sesuatu yang mengatur secara paksa suatu hal. Dalam arti ini, dogmatisme saya artikan sebagai sesuatu kekangan, penjara, dan ketidakbebasan. Contoh paling nyata dari istilah ini adalah ketika Gereja menghukum orang-orang seperti G. Bruno, Copernicus, dan Galileo. Apakah dogmatisme dalam kehidupan manusia itu? Bagi saya, ini adalah pertanyaan yang sulit dijawab dengan begitu saja. Penjelasannya mungkin akan malah menjadikannya semakin tidak jelas. Bagaimanapun saya akan mencoba menjawabnya dengan cara menguraikannya. Kita segera ke bahasan tersebut.
 
Sebagaimana saya katakan sebelumnya, manusia pada umumnya lahir, dalam suatu masyarakat sebagai manusia murni dan bukan sebagai anggota masyarakat. Masyarakat di sini adalah sekelompok manusia yang memiliki kebudayaan dan hasil-hasil sains yang dikembangkan, yang keduanya adalah hasil dari penalaran yang ada di kepala manusia itu sendiri. Oleh karena setiap aspek kehidupan manusia adalah hasil dari proses penalaran yang ada di kepala manusia, penting bagi saya untuk menguraikan bagaimana manusia yang baru saja lahir mengembangkan kemampuan penalarannya dengan bantuan orang tua dan masyarakat. Ketika saya kecil, orangtua saya mengajari alfabet dan angka atau bilangan (bilangan natural sampai pecahan). Itu adalah sesuatu yang sedikit masih dapat saya ingat. Orangtua saya, tentu saja, tidak mengajari saya bilangan dengan mengenalkan dengan karya-karya Peano, Frege, atau B. Russell. Sangat sederhana, orangtua saya mengajari saya bilangan (maksud saya bilangan natural) dengan biji-bijian, manik-manik, atau hanya sembarang benda. Lebih maju lagi, orangtua (atau guru saya ketika di sekolah dasar) mengajari sistem bilangan bulat dengan uang pembayaran dan utang piutang. Selanjutnya, saya belajar bilangan pecahan atau rasional dengan roti dan kue untuk keluarga dengan anak yang banyak -tentu saja anda tahu maksudnya. Saya tidak akan menuliskan lebih lanjut, tapi saya mengakui bahwa saya pernah belajar bilangan real dan bilangan kompleks. Ya, memang saya atau manusia kebanyakan belajar dari bilangan bukan dari bilangan itu sendiri melainkan dari hal-hal yang ada di dunia yang abstraksinya adalah bilangan itu sendiri.
 
Sering saya mendengar matematikawan berkata bahwa hidup itu matematis. Jika memang begitu maka saya akan mengatakan bahwa hal yang paling mengagumkan dalam hidup adalah matematika, dan hal yang paling mengecewakan adalah mengetahui bahwa hidup itu hanya matematika. Dalam tulisan ini saya membahas dengan menganggap bahwa apa yang dikatakan oleh matematikawan itu memang benar. Dan memang saya juga lebih cenderung mendukungnya karena jika kehidupan itu tidak matematis mungkin manusia tidak sampai seperti ini. Manusia dapat mempelajari alam dan kemudian memanfaatkannya dengan bantuan matematika entah dia menyadarinya atau tidak. Jika memang kata-kata matematikawan tersebut cukup sulit diterima, maka anggap saja memang begitu dan sesuatu yang dapat diabstraksi dari kehidupan kita sebut sebagai matematika. Matematika sangat berpengaruh dalam sains khususnya fisika. Oleh karenanya kita akan melihat bagaimana dogmatisme yang saya tuliskan di atas saya bahas.
 
Membahas fisika tidak dapat lepas dari matematika. Dan memang keduanya seperti sebuah perkawinan yang paling romantis. Keduanya selalu saling melengkapi. Ketika fisika menemukan suatu fenomena, maka matematika pun mengikutinya sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Di lain pihak, hal yang sebaliknya pun sering terjadi. Dalam membahas fisika, saya hanya akan merentangkankan sebuah rentetan lompatan nalar manusia yaitu Demokritus, Aristotle, Galileo, Newton, Maxwell, dan Einstein. Masing-masing tokoh di atas adalah manusia jenius yang mungkin sangat murni manusia.
 
Dogmatisme ini paling kentara memang pada bidang fisika. Dogmatisme ini memang sangat berpengaruh untuk kehidupan manusia mendatang dan perkembangan fisika itu sendiri. Contoh dogmatisme yang saya berikan sebelumnya adalah kasus Gereja pada masa kegelapan Eropa. Sebenarnya yang malah ingin saya tekankan adalah dogmatisme yang terjadi pada masa sekarang ini. Tak salah lagi, masa yang benar-benar modern ini. Tampaknya kita sekarang bebas, tapi menurut saya tidak begitu bebas dan bahkan kita sendirilah yang melakukan dogma-dogma itu kepada generasi yang sekarang ini kita ajari yaitu generasi-generasi di bawah kita (tidak berarti di bawah kaki kita, maksudnya adalah generasi yang lebih muda). Ya benar, mengajarkan matematika pada anak kita dengan sesuatu hal yang darinya matematika diabstraksi tanpa memberikan pengarahan bahwa matematika yang sama juga dapat menjelaskan objek yang lain adalah sebuah dogma yang tidak disadari dan dapat mengekang anak tersebut dalam dunia yang terbatas. Sebagai contoh paling mudah adalah pada fisika. Mengajarkan mekanika Newton pada generasi muda tanpa memberi embel-embel keberatan dari Einstein akan menyebabkan generasi tersebut akan memiliki penalaran yang tertancap kuat pada Newton dan mungkin saja tidak akan keluar dan masuk ke dalam buah pikiran Einstein. Orangtua saya adalah masyarakat Newton yang secara sadar atau tidak sadar telah mengajarkan ruang dan waktu dan bukan ruang-waktu. Dan memang dengan mengajarkan hal tersebut saya dapat menjadi seseorang yang cukup cerdas di masyarakat Newton. Di lain pihak, ini menjadikan saya sulit untuk keluar dari masyarakat Newton menuju masyarakat Einstein. Dan tentu saja masyarakat Einstein adalah penjara yang yang baru dan teruntukkan bagi mereka yang tidak berhati-hati.
 
Sedikit saya perluas, dogmatisme tersebut terjadi bahkan pada setiap proses pembelajaran. Proses di mana ilmu harus dicari dengan memanennya dari seorang guru. Tidak hanya guru, buku bacaan dan panduan pun akan menjadi tokoh dogmatis yang cukup populer. Oleh karena itu, saya lebih setuju dengan Galileo bahwa seseorang tidak bisa menggurui seseorang melainkan hanya dapat memberinya kesempatan untuk belajar. Dogmatisme ini dapat terjadi di semua kalangan dan level pendidikan. Adalah orang-orang egois, individualis, angkuh, arogan yang mengganggap penjaranya adalah tempat terbaik yang harus menjadi cita-cita setiap orang. Dogmatisme ini telah terjadi sepanjang sejarah kehidupan manusia. Mereka yang mengajarkan ajaran Aristotle pada zaman Newton tentu sama dengan melakukan dogmatisme ini. Dogmatisme ini akan selalu berlangsung sepanjang hidup manusia.
 
Secara keseluruhan saya ingin menekankan pentingnya kreativitas dan kebebasan berimajinasi dalam pendidikan, khususnya untuk anak-anak kecil. Anak-anak dalam penjara tentu saja tidak akan bisa menerima anak-anak dari luar penjara. Mengerikan ketika anak-anak diluar penjara ini menjadi dikucilkan dan dibuang begitu saja. Mereka yang dibuang itu hanya akan mengisi kolong-kolong jembatan, dan jika beruntung akan menciptakan penjara baru yang tentu lebih luas dan baik. Perlu digarisbawahi bahwa itu tetap saja penjara. Anak-anak seharusnya berada dalam dunia di luar penjara. Keterbukaan akan kemungkinan kesalahan diri kita dalam menanggapi setiap perkembangan sains juga sangat penting. Yang saya takutkan adalah bahwa itu merupakan satu-satunya jalan untuk menghidari dogmatisme yang tidak secara sadar kita lakukan. Dan yang lebih berbahaya adalah sesuatu yang kita lakukan secara tidak sadar.

Jumat

O atau 1

Awal dari segala hal dalam dimensi.
Sejatikah nol, andaikan satu?
terlihat, terasa, teraba, tergenggam
dalam rajutan bilangan
seluas lautan angkasa
Adakah penjelasan dalam pikiran?
ataukah dalam perasaan?

Tak dapat ataukah tak bisa
jawaban tak mampu adalah kesejatian
ketiadaan keraguan akan jawaban itu
keraguan datang untuk apa dunia ini
yang kedatangannya tak ada yang meyakini,
apakah nol? Ataukah satu?

Nol, kosong, hampa, tak berarti?
tak ada yang nol, kosong,
hampa dalam dimensi
begitu pula jagad semesta
lalu apakah yang mengisi?
Ketidakpastian, keraguan, kebodohan,
ketidaktahuan, kecerobohan, kemunafikan,
kesombongan, kemarahan.
meski seluas kalimat andai
hanyalah bernilai nol
di manakah satu dari pandangan nol?

Satu, tunggal, bukan kosong, ada.
apakah kemungkinan lain dari nol?
dua, tiga, ..., sembilan juta
segala tentang kuantasi satu
seluas jagad semesta adalah keindahan,
kesabaran, kelembutan, keikhlasan.
di manakah nol dari pandangan satu?

Terjawab jelas dalam nurani,
terlintas jelas pungkiri pikiran,
terlihat jelas butakan netra,
terngiang jelas tulikan telinga,
teraba dan terasa jelas pahitkan lidah,
tertulis rapi dalam kitab-Nya,
terjaga aman oleh-Nya.
Kuserahkan nurani, pikiran,
jasad ini pada-Nya.

Kamis

Salam Kehidupan

Kehidupan bukanlah sebuah cerita manis sebagaimana kisah Krisna, juga bukan sebuah cerita tragis ala Romeo and Juliet. Bukanlah sebuah cerita romantis ala Cinderela. Kehidupan yang jauh lebih dari sebuah tayangan layar lebar melebihi dari segala imajinasi yang lahir karena kehidupan. Ada yang bilang kehidupan lebih mirip sebagai aliran air sungai. Ketika masih di hulu pegunungan nan hijau sejuk, air yang mengalir bak embun yang menetes dari daun Bumi yang subur ini. Menjadi keruh mendekati padang tandus berlumpur yang mengendapkan segala kesejukan di hulu. Mengalir membelah perkebunan yang kembali rindang yang kerindangannya tak sesejuk hulu pegunungan. Selalu mengalir dan tidak pernah berhenti demi keseimbangan jagad semesta. Kehidupan sesungguhnya bukanlah seperti tulisan yang terbaca yang mengandaikan segala sesuatu menjadi sebuah kalimat yang begitu indah. Kehidupan tak begitu sederhana. Hukum Newton mungkin mengungkapkan kesederhanaan alam. Kesederhanaan yang bahkan melebihi kerumitannya. Relativitas Einstein membuka mata kita ke arah kedewasaan manusia di atas kedewasaaan makhluk semesta ini. Kehidupan seperti air, seperti embun, seperti padang tandus, seperti lumpur, seperti lautan. Sepenuhnya bagaimana kita menempatkan diri kehidupan itu sendiri pada air, embun, padang tandus, lumpur, atau bahkan lautan yang luasnya tak akan pernah mampu menandingi luasnya kerumitan kehidupan yang sederhana ini. Kehidupanku bagaikan air yang tak akan pernah ada habisnya, atau bagaikan embun yang kedatangannya selalu mambawa kesejukan. Bagaikan padang tandus yang tak pernah mendapat kesejukan kenikmatan, seperti lumpur yang selalu mengikuti arus dan selalu berada paling bawah dari pengendapan. Lautan yang luasnya melebihi luasnya semua sungai yang membawa kesejukan dari hulu, membawa kenikmatan di padang tandus, menampung segala kesejukan, kesengsaraan, dan bahkan kotornya lumpur yang lengket. Satu bait yang menyatukan semua adalah mereka semua memiliki sifat yang berbeda. Air, lumpur, padang tandus sama sekali tak sama satu sama lain. Kesamaan dari semuanya adalah keragaman dalam sifat dan karakter yang dimilikinya. Sebagaimana kenyatan, nasionalis melihat keseragaman dalam dunianya, seorang saintis melihat keseragaman dalam jagad raya, dan pada akhirnya agamis harus melihat keseragaman dalam jagad raya dan negasi jagad raya.