Selasa

Manusia dan Dogmatisme dalam Kehidupannya


oleh Irfan Nurkholis
11 Juli 2016

Alasan yang membawa saya menulis ini tidak lain adalah ide mengenai sesuatu yang sesungguhnya seringkali membawa manusia menjadi makhluk yang arogan, egois, penuh dengan sifat keperkasaan mengenai dirinya sendiri. Terkadang hal ini juga membuat manusia tidak sadar betapa luasnya dan tak terbatasnya kehidupan yang sesungguhnya.
 
Dalam judul tulisan ini, saya memiliki tiga kata yang harus saya jelaskan, dan memang akan menimbulkan kebingungan jika tidak saya jelaskan. Tiga kata tersebut merupakan kata-kata yang maksudnya benar-benar sesuai dengan apa saya pikirkan. Ketiga kata tersebut adalah ‘manusia’, ‘dogmatisme’, dan ‘kehidupan’. Saya akan jelaskan apa yang saya maksud dengan ketiga kata tersebut.
 
Kata pertama yang saya bahas adalah ‘manusia’. Manusia yang saya maksudkan di sini adalah makhluk yang memiliki kemampuan penalaran entah bagaimana proses penalaran itu menghasilkan kesimpulan-kesimpulan. Saya juga tidak terlalu yakin bagaimana manusia dapat mendapatkan kemampuan yang begitu ajaib ini. Penalaran yang saya maksud di sini adalah segala sesuatu aktivitas pikiran yang dengannya manusia mencapai peradaban-peradapan yang mungkin. Yang tentu saya tahu mengenai penalaran manusia yang paling populer adalah dalam bentuk matematika. Sebagai ringkasnya, saya memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan penalaran yang dengannya manusia menjalani ‘kehidupan’ (yang akan saya bahas sebentar lagi). Manusia di sini lebih cenderung kepada manusia secara kolektif dan bukan individual.
 
Kehidupan yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah apa saja yang dilalui manusia sejak manusia lahir secara individu sampai manusia itu mati, di mana di antara keduanya akan terdapat banyak hal yang lebih banyak menyinggung manusia secara kolektif. Menurut saya, bagaimanapun, seorang anak manusia tentu saja lahir dari kedua orang tuanya dan hadir ke dunia ini sebagai manusia murni dan bukan sebagai anggota masyarakat. Manusia bisa saja keluar dari masyarakat jika memang dia tidak setuju dengan masyarakat itu dan mungkin juga dia sendiri akan menciptakan masyarakat baru karena memang dia tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat. Hal inilah mengapa saya mengatakan manusia ditinjau secara individu. Di lain sisi, manusia ditinjau secaara kolektif, saya maksudkan untuk manusia dalam kebudayaan dan peradabannya yang tentu saja tidak akan pernah bisa dihasilkan oleh satu manusia saja.
 
Kata terakhir, yang saya tidak terlalu yakin apakah ini adalah yang dimaksudkan orang-orang umum ketika mengucapkannya, yang saya bahas adalah ‘dogmatisme’. Dogmatisme di sini saya maksudkan sebagai keadaan di mana sesuatu yang mengatur secara paksa suatu hal. Dalam arti ini, dogmatisme saya artikan sebagai sesuatu kekangan, penjara, dan ketidakbebasan. Contoh paling nyata dari istilah ini adalah ketika Gereja menghukum orang-orang seperti G. Bruno, Copernicus, dan Galileo. Apakah dogmatisme dalam kehidupan manusia itu? Bagi saya, ini adalah pertanyaan yang sulit dijawab dengan begitu saja. Penjelasannya mungkin akan malah menjadikannya semakin tidak jelas. Bagaimanapun saya akan mencoba menjawabnya dengan cara menguraikannya. Kita segera ke bahasan tersebut.
 
Sebagaimana saya katakan sebelumnya, manusia pada umumnya lahir, dalam suatu masyarakat sebagai manusia murni dan bukan sebagai anggota masyarakat. Masyarakat di sini adalah sekelompok manusia yang memiliki kebudayaan dan hasil-hasil sains yang dikembangkan, yang keduanya adalah hasil dari penalaran yang ada di kepala manusia itu sendiri. Oleh karena setiap aspek kehidupan manusia adalah hasil dari proses penalaran yang ada di kepala manusia, penting bagi saya untuk menguraikan bagaimana manusia yang baru saja lahir mengembangkan kemampuan penalarannya dengan bantuan orang tua dan masyarakat. Ketika saya kecil, orangtua saya mengajari alfabet dan angka atau bilangan (bilangan natural sampai pecahan). Itu adalah sesuatu yang sedikit masih dapat saya ingat. Orangtua saya, tentu saja, tidak mengajari saya bilangan dengan mengenalkan dengan karya-karya Peano, Frege, atau B. Russell. Sangat sederhana, orangtua saya mengajari saya bilangan (maksud saya bilangan natural) dengan biji-bijian, manik-manik, atau hanya sembarang benda. Lebih maju lagi, orangtua (atau guru saya ketika di sekolah dasar) mengajari sistem bilangan bulat dengan uang pembayaran dan utang piutang. Selanjutnya, saya belajar bilangan pecahan atau rasional dengan roti dan kue untuk keluarga dengan anak yang banyak -tentu saja anda tahu maksudnya. Saya tidak akan menuliskan lebih lanjut, tapi saya mengakui bahwa saya pernah belajar bilangan real dan bilangan kompleks. Ya, memang saya atau manusia kebanyakan belajar dari bilangan bukan dari bilangan itu sendiri melainkan dari hal-hal yang ada di dunia yang abstraksinya adalah bilangan itu sendiri.
 
Sering saya mendengar matematikawan berkata bahwa hidup itu matematis. Jika memang begitu maka saya akan mengatakan bahwa hal yang paling mengagumkan dalam hidup adalah matematika, dan hal yang paling mengecewakan adalah mengetahui bahwa hidup itu hanya matematika. Dalam tulisan ini saya membahas dengan menganggap bahwa apa yang dikatakan oleh matematikawan itu memang benar. Dan memang saya juga lebih cenderung mendukungnya karena jika kehidupan itu tidak matematis mungkin manusia tidak sampai seperti ini. Manusia dapat mempelajari alam dan kemudian memanfaatkannya dengan bantuan matematika entah dia menyadarinya atau tidak. Jika memang kata-kata matematikawan tersebut cukup sulit diterima, maka anggap saja memang begitu dan sesuatu yang dapat diabstraksi dari kehidupan kita sebut sebagai matematika. Matematika sangat berpengaruh dalam sains khususnya fisika. Oleh karenanya kita akan melihat bagaimana dogmatisme yang saya tuliskan di atas saya bahas.
 
Membahas fisika tidak dapat lepas dari matematika. Dan memang keduanya seperti sebuah perkawinan yang paling romantis. Keduanya selalu saling melengkapi. Ketika fisika menemukan suatu fenomena, maka matematika pun mengikutinya sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Di lain pihak, hal yang sebaliknya pun sering terjadi. Dalam membahas fisika, saya hanya akan merentangkankan sebuah rentetan lompatan nalar manusia yaitu Demokritus, Aristotle, Galileo, Newton, Maxwell, dan Einstein. Masing-masing tokoh di atas adalah manusia jenius yang mungkin sangat murni manusia.
 
Dogmatisme ini paling kentara memang pada bidang fisika. Dogmatisme ini memang sangat berpengaruh untuk kehidupan manusia mendatang dan perkembangan fisika itu sendiri. Contoh dogmatisme yang saya berikan sebelumnya adalah kasus Gereja pada masa kegelapan Eropa. Sebenarnya yang malah ingin saya tekankan adalah dogmatisme yang terjadi pada masa sekarang ini. Tak salah lagi, masa yang benar-benar modern ini. Tampaknya kita sekarang bebas, tapi menurut saya tidak begitu bebas dan bahkan kita sendirilah yang melakukan dogma-dogma itu kepada generasi yang sekarang ini kita ajari yaitu generasi-generasi di bawah kita (tidak berarti di bawah kaki kita, maksudnya adalah generasi yang lebih muda). Ya benar, mengajarkan matematika pada anak kita dengan sesuatu hal yang darinya matematika diabstraksi tanpa memberikan pengarahan bahwa matematika yang sama juga dapat menjelaskan objek yang lain adalah sebuah dogma yang tidak disadari dan dapat mengekang anak tersebut dalam dunia yang terbatas. Sebagai contoh paling mudah adalah pada fisika. Mengajarkan mekanika Newton pada generasi muda tanpa memberi embel-embel keberatan dari Einstein akan menyebabkan generasi tersebut akan memiliki penalaran yang tertancap kuat pada Newton dan mungkin saja tidak akan keluar dan masuk ke dalam buah pikiran Einstein. Orangtua saya adalah masyarakat Newton yang secara sadar atau tidak sadar telah mengajarkan ruang dan waktu dan bukan ruang-waktu. Dan memang dengan mengajarkan hal tersebut saya dapat menjadi seseorang yang cukup cerdas di masyarakat Newton. Di lain pihak, ini menjadikan saya sulit untuk keluar dari masyarakat Newton menuju masyarakat Einstein. Dan tentu saja masyarakat Einstein adalah penjara yang yang baru dan teruntukkan bagi mereka yang tidak berhati-hati.
 
Sedikit saya perluas, dogmatisme tersebut terjadi bahkan pada setiap proses pembelajaran. Proses di mana ilmu harus dicari dengan memanennya dari seorang guru. Tidak hanya guru, buku bacaan dan panduan pun akan menjadi tokoh dogmatis yang cukup populer. Oleh karena itu, saya lebih setuju dengan Galileo bahwa seseorang tidak bisa menggurui seseorang melainkan hanya dapat memberinya kesempatan untuk belajar. Dogmatisme ini dapat terjadi di semua kalangan dan level pendidikan. Adalah orang-orang egois, individualis, angkuh, arogan yang mengganggap penjaranya adalah tempat terbaik yang harus menjadi cita-cita setiap orang. Dogmatisme ini telah terjadi sepanjang sejarah kehidupan manusia. Mereka yang mengajarkan ajaran Aristotle pada zaman Newton tentu sama dengan melakukan dogmatisme ini. Dogmatisme ini akan selalu berlangsung sepanjang hidup manusia.
 
Secara keseluruhan saya ingin menekankan pentingnya kreativitas dan kebebasan berimajinasi dalam pendidikan, khususnya untuk anak-anak kecil. Anak-anak dalam penjara tentu saja tidak akan bisa menerima anak-anak dari luar penjara. Mengerikan ketika anak-anak diluar penjara ini menjadi dikucilkan dan dibuang begitu saja. Mereka yang dibuang itu hanya akan mengisi kolong-kolong jembatan, dan jika beruntung akan menciptakan penjara baru yang tentu lebih luas dan baik. Perlu digarisbawahi bahwa itu tetap saja penjara. Anak-anak seharusnya berada dalam dunia di luar penjara. Keterbukaan akan kemungkinan kesalahan diri kita dalam menanggapi setiap perkembangan sains juga sangat penting. Yang saya takutkan adalah bahwa itu merupakan satu-satunya jalan untuk menghidari dogmatisme yang tidak secara sadar kita lakukan. Dan yang lebih berbahaya adalah sesuatu yang kita lakukan secara tidak sadar.

Tidak ada komentar: