Senin

Esai Mengenai Nilai Moral dan Tuhan

Oleh : Irfan Nurkholis
1 Agustus 2016

“Tidakkah kau dengar orang gila yang menyalakan pelita di pagi hari yang cerah. Dia berlari-lari menuju alun-alun kota dan tak henti-hentinya berteriak : ‘Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!’. Ketika orang banyak yang tidak percaya pada Tuhan, datang mengerumuinya, orang gila itu mengundang banyak gelak tawa. ‘Apakah dia ini orang yang hilang?’, tanya seorang. Apakah dia baru saja mengadakan pelayaran? Apakah dia seorang perantau? Demikianlah mereka saling bertanya sinis dan tertawa.

Orang gila itu lalu melompat dan menyusup ke tengah-tengah kerumunan dan menatap mereka dengan pandangan yang tajam. ‘Mana Tuhan?’, serunya. ‘Aku hendak berkata pada kalian. Kita semua telah membunuh Tuhan - kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Bagaimana mungkin kita telah melakukan perbuatan semacam ini? Bagaimana mungkin kita meminum habis lautan? Siapakah yang memberikan penghapus kepada kita untuk melenyapkan seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan jikalau kita melepaskan Bumi ini dari Mataharinya? Lalu ke mana Bumi ini akan bergerak? Menjauhi seluruh Matahari? Tidakkah kita jatuh terus menerus? Ke belakang, ke samping, ke depan, ke semua arah? Masih adakah atas dan bawah? Tidakkah kita berkeliaran melewati ketiadaan yang tak terbatas? Tidakkah kita merasa menghirup ruangan yang kosong? Bukankah hari sudah menjadi semakin dingin? Tidakkah malam terus-menerus semakin meliputi kita? Bukankah pada siang hari lentera pun kita nyalakan? Tidakkah kita mendengar kebisingan para penggali liang kubur yang sedang memakamkan Tuhan? Tidakkah kita mencium bau busuk Tuhan? Ya, para Tuhan juga membusuk! Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kita telah membunuhnya!

(Die Fröhliche Wissenschaft, 125. diambil dari Nietzsche oleh St. Sunardi)

Cukilan di atas adalah tulisan filosof postmodernisme, Freidrich Nietzsche. Dalam karyanya tersebut dia mengungkapkap bahwa Tuhan sudah mati dan oleh karenanya tidak ada nilai moral yang harus dipatuhi untuk menjadi orang yang baik. Hal ini membawa saya untuk memikirkan dua pertanyaan berikut ini.

Benarkah Tuhan sudah mati?
Apakah memang tidak ada nilai moral yang harus dipatuhi?

Tulisan ini merupakan gagasan saya mengenai konsep nihilisme zaman modern sebagaimana yang digambarkan dalam kajian-kajian filsafat Nietzsche. Selain itu, nilai moral bagi saya adalah sesuatu yang didapat dari apa yang namanya hidup. Selama manusia hidup maka nilai moral tetap ada, sekurang-kurangnya adalah nilai moral untuk hidup. Sebelumnya saya akan menjelaskan apa yang saya maksudkan dengan nilai moral dan Tuhan itu sendiri. Mengenai ketiadaan Tuhan, saya sepenuhnya tidak bisa meyakini bahwa Tuhan tidak ada.
 
Tuhan dalam gagasan saya adalah sesuatu yang abstrak (karena memang tidak bisa dibuktikan begitupun disanggah) yang menjadi asal mula segala sesuatu. Asal mula bukan berarti pada suatu titik pada waktu tertentu, karena waktu itu sendiri merupakan sesuatu yang juga bagian dari segala sesuatu. Asal mula di sini tidak menjawab pertanyaan kapan melainkan bagaimana. Tuhan dalam pengertian ini berada di luar dari segala sesuatu. Jadi ada dua hal yang berlainan, Tuhan dan segala sesuatu. Tuhanlah yang menciptakan segala sesuatu dalam kehidupan ini.
 
Nilai moral dalam pembicaraan ini adalah sebuah hal semacam aturan atau pedoman yang dipatuhi manusia secara sadar maupun tidak sadar agar manusia dapat dinilai sebagai makhluk yang baik atau buruk. Singkat kata, nilai moral menentukan baik atau buruknya suatu sikap dan perilaku manusia.
 
Dari sudut pandang agama pada umumnya, Tuhan adalah sumber dari segala bentuk kebijaksanaan atau sejenisnya yang bersifat baik. Dan oleh karenanya, Tuhan dijadikan sebagai sumber nilai moral. Biar bagaimanapun, agama pada umumnya berkekuatan pada majelis-majelis tertentu dalam agama tersebut. Nilai moral dalam sudut pandang agama ini biasanya bersifat absolut, pada suatu titik, dasar dari nilai moral ini adalah asumsi yang benar-benar bersifat absolut dan tidak dapat dipertanyakan lagi kebenarannya.
 
Saya tidak dapat menerima segala sesuatu yang tidak memiliki dasar yang jelas. Oleh karena itu saya tidak akan memberikan penilaian terhadap nilai moral yang bersifat absolut. Menurut saya, untuk mendasari nilai moral itu sendiri, manusia harus berpegang teguh pada konsep hidup. Hidup adalah satu-satunya hal yang membuat segala sesuatu memiliki nilai. Lalu apakah memang ada nilai moral yang memang harus dipatuhi?
Berikut adalah ilustrasinya. Adam adalah manusia pertama di Bumi. Ini berarti tidak ada manusia lain selain dia (tentu saja ini tidak benar, karena jika memang begitu maka tidak akan ada manusia setelahnya - ini hanya sebagai pemisalan jika populasi manusia hanya sedikit atau katakanlah hanya ada dua manusia maka nilai moral yang ada pun berbeda). Apakah ada nilai moral yang harus dipatuhi? Apakah dia tidak boleh mencuri? Apakah dia harus bertindak sopan? Apakah dia bersedekah? Tentu saja tidak. Tapi itu tidak berarti bahwa tidak ada nilai moral. Bagaimanapun dia harus hidup, karena itu adalah satu-satunya hal paling mungkin.
 
Bagaimana cara hidup? Itu bergantung pada keadaan alam dunia ini. Tentu saja setiap benda akan jatuh ke bawah. Api dan lava juga bersuhu sangat tinggi dan dapat membakar tubuh manusia seakan-akan langsung mengantarkannya langsung menuju neraka. Manusia juga tidak dapat bernapas di dalam air atau di dalam ruang tertutup karena manusia membutuhkan oksigen. Dari keadaan-keadaan alam inilah muncul nilai moral untuk hidup. Artinya, bertempat tinggal di dataran rendah lebih baik daripada tinggal di puncak gunung berapi karena hal itu hanya akan mengancam hidup manusia itu sendiri. Yang saya maksudkan di sini adalah nilai-nilai moral ini dinilai dari hidup manusia itu sendiri bukan dari hubungan sosial. Walaupun memang jika ditelusuri lebih lanjut nilai yang timbul dari hubungan sosial yang sebenarnya pun didasarkan pada nilai moral yang bersumber pada hidup itu sendiri. Sebagai contoh, Adam yang tinggal sendiri setelah dewasa memiliki sifat untuk mencari pasangan. Maka mencari pasangan memiliki nilai moral yang lebih baik ketimbang tidak mencari pasangan (secara biologis melanjutkan keturunan adalah sifat alami makhluk hidup, dan itu lebih baik. Mengapa lebih baik, bisa kita buktikan dengan kontradiksi yaitu makhluk hidup tidak melakukan usaha untuk melanjutkan keturunan maka tidak ada makhluk hidup lagi setelahnya. Oleh karenanya tidak akan ada lagi yang namanya hidup, yang mana itu adalah dasar dari nilai moral). Oleh karena itu juga, melanjutkan keturunan juga lebih baik daripada memandul. Tentu saja semua makhluk hidup memiliki sifat ini. Dan karenanya juga, menjamin kesejahteraan keturunan memiliki nilai moral yang lebih baik ketimbang menelantarkannya. Anak tentu saja juga akan memiliki keturunan dan karenanya akan ada kelompok manusia di mana pada kelompok tersebut juga akan terdapat hubungan sosial antar individu. Hal inilah yang menjadi titik di mana kita dapat menyimpulkan bahwa nilai-nilai moral yang timbul dalam hubungan sosial dapat ditelusuri dari nilai-nilai moral yang bersumber dari alam itu sendiri.
 
Karena alam yang ditinggali manusia itu sendiri memiliki hukum-hukum atau ketetapan-ketetapan fisika atau matematika itulah yang menyebabkan manusia harus mengikuti suatu nilai moral yang memang sudah ada. Dari nilai moral primitif untuk menjamin kelangsungan hidup hingga nilai moral sosial dalam interaksi antara individu, nilai moral ini pada dasarnya bersumber dari konsep hidup itu sendiri. Hidup yang saya maksud lebih bersifat biologis. Objek-objek biologis hidup juga dengan mematuhi hukum-hukum fisika dan matematika. Hal inilah yang menjadikan bahwa manusia memiliki nilai moral. Tentu saja, nilai moral masyarakat di daerah pegunungan berbeda dengan nilai moral masyarakat di daerah pantai. Itu terjadi karena kondisi fisik lingkungan yang berbeda (dan masih ada faktor lain juga, seperti pendidikan, tetapi itu juga karena lingkungan di mana pendidikan itu dijalani). Hal ini menunjukkan bahwa nilai moral manusia memiliki hubungan erat dengan alam lingkungannya. Menilai baik buruknya seseorang dengan seperangkat aturan ketat yang ditetapkan oleh sebuah lembaga yang secara absolut menguasainya tentu saja tidak pernah masuk dalam daftar saya sebagai hal yang benar. Menilai manusia harus dengan melihat dan mempertimbangkan lingkungan sekitarnya di mana ia hidup.
 
Lalu bagaimana dengan nilai moral yang dikatakan dari Tuhan. Segala sesuatu berasal dari Tuhan. Tentu saja itu tidak diragukan lagi. Tapi bagaimana segala sesuatu itu muncul ke permukaan ini tidak bisa dijawa dengan hanya berkata itu dari Tuhan. Jika itu jawabannya maka tidak ada yang perlu dipelajari dan dipikirkan lagi oleh para filosof. Mengatakan semuanya atas nama Tuhan hanya karena malas berpikir dan belajar itu hampir sama dengan tidak mempercayai Tuhan itu sendiri. Tidak ada yang pernah melihat seperti apa Tuhan itu, dan seberapa tua (atau seberapa muda) Tuhan. Realitas Tuhan menjadi sebuah paradox untuk akal sehat manusia yang sebenarnya tidak begitu sehat. Oleh karena itu setiap hal yang dikatakan berasal dari Tuhan harus kita telusuri lagi bagaimana implikasi atau kaitannya dengan konsep mengenai hidup itu sendiri. Faktanya seluruh nilai moral yang diciptakan manusia seharusnya berjalan dengan fungsi biologis manusia itu sendiri.
 
Mengatakan Tuhan itu sudah mati bisa jadi adalah keputusan yang terburu-buru. Hati manusialah yang sepenuhnya sedang sekarat. Manusia tidak mau menilai baik burukknya suatu tindakan dengan konsep hidup itu sendiri. Manusia lebih memilih menilainya dengan hasrat bersaing dengan sesama manusia itu sendiri. Masyarakat ternyata adalah hantu bagi jiwa yang lemah untuk menjadi manusia yang mengamini Tuhan.
 
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan bahwa sebagai manusia saya merasa bahwa membawa-bawa nama Tuhan untuk tujuan tertentu yang bersifat mencari keuntungan pribadi (sebaiknya Anda paham dengan yang saya maksudkan dengan keuntungan pribadi) tidak bisa dianggap sebagai perilaku yang patut dicontoh. Takut akan berbuat dosa seharusnya bisa dihilangkan dengan mempelajari dan merenungkannya terlebih dahulu. Mengeliminasi manusia dari masyarakat karena tidak berada dalam daftar kompetisi akan menjadi isu yang kian hari kian menghangat.

Tidak ada komentar: